Home Kho Ping Hoo Suling Emas Senin, 12 Juni 2017 - 1800 WIBloading... Suling Emas, karya Asmaraman S Kho Ping Hoo A A A Kho Ping Hoo, Suling EmasKwee Seng pernah mengikuti ujian di kota raja namun gagal. Semenjak itu, ia tidak pernah kembali ke kampung halamannya, yaitu di sebuah dusun kecil di kaki gunung Luliang-san, karena ayah bundanya sudah lama meninggal dunia oleh wabah penyakit ketika ia masih kecil. Ia merantau sebagai seorang kang-ouw yang tak terkenal karena semua sepak terjangnya ia sembunyikan. Hanya beberapa orang tokoh besar saja di dunia kang-ouw yang mengenal pendekar sakti muda ini, malah diam-diam ia diberi julukan Kim-mo-eng pendekar Setan Emas. Ia disebut setan karena sepak terjangnya seperti setan, tak pernah memperlihatkan diri. Akan tetapi ia di sebut emas yang mengandung maksud bahwa pendekar ini berhati emas, membela kebenaran dan keadilan, pembasmi kelaliman dan kekejaman. Namun nama ini hanya kalangan atas terbatas saja perna mendengar, di dunia kang-ouw nama Kim-mo-eng Kwee Seng tak pernah Seng tidak berbohong ketika mengatakan kepada ke tujuh orang pendekar pada malam yang lalu bahwa ia adalah seorang pelancong yang kebetulan lewat di kota raja Nan-Cao. Memang ia tidak mempunyai niat untuk menjadi tamu Beng-kauw, sungguhpun nama Pat-jiu Sin-ong bukanlah nama asing baginya. Ia tidak suka tokoh besar itu diangkat menjadi koksu, hal yang ia anggap sebagai bukti kerakusan akan kedudukan dan kemuliaan. Maka baginya, hal itu tidak perlu diberi selamat. Apalagi mendengar berita tentang putri Pat-jiu Sin-ong yang hendak memilih jodoh, seujung rambutpun tiada niat di hatinya untuk ikut-ikutan memasuki sayembara, bahkan ingin melihat si jelita pun sama sekali ia tidak ada nafsu. Memang demikianlah watak Kwee Seng. Ia memandang rendah kepada hal-hal yang dianggapnya tidak benar atau menyimpang daripada kebenaran. Padahal harus diakui bahwa ia adalah seorang pemuda yang baru berusia dua puluh tiga tahun, yang tentu saja sebagai seorang pemuda normal, selalu berdebar-debar apabila melihat seorang gadis cantik. Ia seorang pemuda yang pada dasarnya memiliki watak romantis, suka akan keindahan, suka akan tamasya alam yang permai, suka akan bunga yang indah dan harum, dan tentu saja bentuk tubuh seorang dara jelita. Akan tetapi, kekuatan batinnya cukup untuk menekan semua perasaan ini dan membuat ia tetap pembunuhan di dalam rumah penginapan itu membangkitkan jiwa satrianya. Ia mendengar keterangan sana-sini dan tahu bahwa tujuh orang pemuda itu adalah calon-calon pengikut sayembara untuk meminang puteri Beng-kauwcu. Mendengar pula betapa pemuda-pemuda itu sudah kegilaan akan Nona Liu Lu Sian, dara rupawan yang pada pagi hari kemarin lewat didepan rumah penginapan. Karena ini, diam-diam Kwee Seng menghubungkan semua itu dengan pembunuhan. Agaknya karena mereka itu tergila-gila kepada Liu Lu Sian maka malam ini menjadi korban pembunuhan keji. Entah apa yang menjadi dasar pembunuhan, entah cemburu atau bagaimana. Namun yang pasti, untuk mencari pembunuhnya ia harus datang menjadi tamu Beng-Kauw!Inilah yang membuat Kwee Seng terpaksa menunda perantauannya dan bersama dengan para tamu lainnya, ia pun melangkahkan kaki menuju ke gedung keluarga Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, Ketua Agama Beng-Kauw, dan juga calon guru Negara Nan-Cao. Bersambungdwi Berita Terkini More 3 jam yang lalu 3 jam yang lalu 4 jam yang lalu 5 jam yang lalu 5 jam yang lalu 5 jam yang lalu
toko buku resmi, buku berasal dari percetakan keluarga kho ping hoo; Kho Ping Hoo Menghunus Kisah - Nyalanyali.com from nyalanyali.com Cerita silat kho ping hoo episode bu kek siansu jilid 01. Kho ping hoo pedang naga Cerita Silat Kho Ping Hoo Dunia Kang Ouw Silat Indonesia Selengkapnya »
loading... Kho Ping Hoo, Suling Emas LU SIAN masih berdiri bengong memandang kakek itu dan mengira bahwa sebentar lagi kakek itu tentu akan roboh dan tewas akibat hawa pukulannya. Akan tetapi anehnya, kakek itu masih tersenyum dan warna menghitam itu bahkan perlahan-lahan lenyap dari kulit muka dan lehernya. Bagaikan dalam mimpi Lu Sian jatuh terduduk dan mendengarkan nyanyian wejangan kakek itu yang serasa meremas-remas jantungnya. "Engkau bagaikan setangkai daun yang mengering layu urusan kematian telah mendekatimu. Engkau berdiri di ambang pintu kematian apakah persiapanmu untuk bekal diperjalanan! Buatlah pulau perlindungan bagimu, berjuanglah segera penuh bijaksana. Apabila engkau bersih dari noda dan bebas dari dosa engkau akan mencapi sorga, alam para Ariya! Berapa lama hidup ini? Tanpa terasa engkau sudah menghampiri Raja Kematian. Tiada akan ada tempat untuk istirahat di perjalanan dan engkau belum menyiapkan suatu perbekalan!" Suara itu merayu dan seperti menghimpit perasaan Lu Sian. Tidak kuat ia menahan lebih lama lagi, maka sambil berlutut di depan kakek itu ia berteriak. "Orang tua... aku mengaku kalah. Kau bunuhlah aku, tak perlu menyiksaku dengan kata-kata....!" Lu Sian lalu menangis tersedu-sedu. Nyanyian kakek itu seakan-akan mendengungkan semua teguran dan peringatan yang keluar dari mulut puteranya tadi dan karenanya membuat hatinya makin hancur. Teringatlah ia akan kesesatan hidupnya dan sadarlah ia betapa rindu ia akan kehidupan yang wajar dari manusia biasa dalam sebuah keluarga bahagia, selama ini. Suara yang-khim terhenti. Dengan gerakan tenang kakek itu menyandangkan alat musiknya di pundak lalu berkata, "Terasa tersiksa karena sadar akan dosa-dosanya adalah baik. Yang sudah lalu sudahlah, biarlah perbuatan jahat tidak diulangi lagi. Biasakan diri tidak menyenangi perbuatan jahat. Penderitaan dalam hidup adalah buah daripada perbuatan jahat yang menjadi pohon tanaman kita sendiri. Orang yang bersengsara, bukankah engkau yang disebut Tok-siauw-kwi? Tiada permusuhan di antara kita, mengapa kau datang-datang menyerangku dan kini minta kubunuh?" Lu Sian mengangkat muka memandang, akan tetapi tidak kuat ia menentang pandang mata kakek itu lama-lama, maka ia menunduk lagi dan tetap berlutut, "Semua orang di dunia kang-ouw memusuhiku, mengapa kau tidak? Sudahlah, tak perlu bermain-main denganku, orang tua. Kau terlalu sakti bagiku, aku mengaku kalah. Lekas kauturunkan tangan maut menghabisi riwayatku, aku pun sudah bosan hidup!" Akan tetapi kakek itu tertawa perlahan. "Mengatasi kemarahan dengan kesabaran, mengatasi kebencian dengan kasih sayang, mengatasi kesombongan dengan kerendahan hati, mengatasi kebohongan dengan kebenaran, mengatasi kejahatan dengan kebajikan. Ah, Tok-siauw-kwi, penyesalan menyesak dadamu, itu tandanya kesadaran sudah mulai muncul. Tumpahkanlah penyesalanmu dalam pengakuan agar tidak menyesak dada dan menjadi lapang untuk kau bertobat." Kini Lu Sian memandang penuh perhatian kepada kakek itu dan naiklah sedu sedan di kerongkongannya ketika timbul dugaan hatinya. "Kau... kau... Bu Kek Siansu...?" Kakek itu tersenyum dan mengangguk. "Kau tahu bahwa aku bukan musuhmu, bukan musuh siapapun juga. Anak baik, bersediakah kau kembali ke jalan terang?" Suara ini demikian tenang dan penuh rasa kasih sayang, seakan-akan suara seorang ayah sendiri yang penuh perasaan iba, Lu Sian menjadi terharu lalu menubruk kaki orang tua itu dan menangis. Kemudian berceritalah Lu Sian, menceritakan semua pengalamannya yang membuat ia dimusuhi semua orang kang-ouw, semua perbuatannya dalam mengabdi kepada nafsu-nafsunya. Tanpa malu-malu dan secara terang-terangan ia bukakan semua isi hatinya kepada kakek ini. Ia bercerita tentang Kwee Seng, tentang Tan Hui, dan tentang partai-partai persilatan besar yang pernah ia datangi. Ia mengaku telah mencuri kitab-kitab di Siauw-lim-pai, di Go-bi-pai, mencuri pedang di Hoa-san-pai. Lu Sian bercerita penuh perasaan sesal sambil menangis dan pada akhir ceritanya ia muntah darah dan roboh pingsan di depan kaki Bu Kek Siansu yang mendengarkan penuh kesabaran dan pengertian. Kemudian Lu Sian merasa seakan-akan ia dituntun ke tempat terang, keluar dari tempat yang amat gelap. Dalam keadaan seperti mimpi ia merasa seperti terbang di antara awan yang menyelubunginya, dan terngianglah di telinganya suara Bu Kek Siansu yang tenang dan sabar. "Jauhi segala permusuhan. Jangan layani mereka yang memusuhimu. Bertobat berarti menghentikan semua perbuatan yang keliru. Kampung halaman merupakan tempat yang paling aman." Ketika Lu Sian sadar kembali, ia mendapatkan dirinya di tempat tadi, akan tetapi Bu Kek Siansu sudah tidak ada di situ. Hanya suara kakek itu masih terus bergema di telinganya. Teringat akan ayahnya, akan Beng-kauw dan kota raja Nan-cao, teringat ketika ia masih kecil ikut ayahnya merantau. Terbayanglah ia akan istana di bawah tanah yang menjadi tempat rahasia Beng-kauw. Tempat itukah yang disindirkan oleh Bu Kek Siansu dalam nasihatnya? Lu Sian bangkit berdiri, tubuhnya terasa lemah dan dengan terhuyung-huyung wanita yang selama bertahun-tahun ini menimbulkan banyak geger di dunia kang-ouw, kini pergi dengan hati perih dan pikiran hampa. *** Bu Song melakukan perjalanan cepat menuju ke kota raja Cou. Hari telah siang ketika ia tiba di wilayah kota raja, di luar pintu gerbang sebelah barat kota raja. Hari amat panas dan di sepanjang jalan raya menuju ke pintu gerbang sunyi. Tiba-toba di sebuah tikungan jalan yang membelok karena terhalang sebuah batu gunung besar, Bu Song melihat seorang kakek berjalan terhuyung-huyung di atas jalan yang panas berdebu. Kakek itu pakaiannya seperti seorang sastrawan akan tetapi pakaiannya sudah tua dan kusut, kumis dan jenggotnya jarang. Tangan kirinya memegang sebuah kitab kecil dan sambil berjalan terhuyung-huyung kakek itu bernyanyi. Bu Song mengenal kata-kata yang dinyanyikan itu sebagai sebuah sajak dari pujuangga Li Po."Meneguk secawan anggur merahdi antara bunga-bunga di taman indahtiada kawan, hanya bulanwahai bulan, mari minum temani akukita bertiga, aku, bayanganku, dan enkau!" Kakek itu terbatuk-batuk, berhrnti terhuyung memegangi dada, kemudian ia berdongak keatas sambil mengeluh, "Sayang suling emas tiada padaku..., kalau ada tentu akan kutiup lagu merdu...!" Tiba-tiba kakek itu terhuyung-huyung kedepan dan tentu jatuh kalau saja Bu Song tidak cepat melompat dan memeluk pundaknya "Orang tua, hati-hatilah. Kau bisa jatuh!" Kakek itu memandang Bu Song dengan sepasang mata mabok, lalu tertawa ha-hah-he-heh dan berkata, kepalanya bergoyang-goyang, "Heh-heh, jatuh ke bawah tidak apa! Celakah mereka yang jatuh ke atas!" Setelah berkata demikian, kakek itu jatuh benar-benar dan untung Bu Song cepat memegangnya sehingga kakek itu tidak terbanting, melainkan jatuh terduduk di tengah jalan. Pada saat itu terdengar banyak derap kaki kuda dan Bu Song yang menengok ke belakang melihat beberapa orang penunggang kuda yang berpakaian seragam mendatangi dengan cepat. "Hayo kita ke pinggir, Kek itu banyak kuda membalap datang!" "Huh, biarlah....... setiap hari puluhan ribu rakyat sudah diinjak-injak, di tambah aku seorang lagi apa artinya?" Bu Song tidak mau melayani bicara kakek ini yang agaknya sedang mabok keras maka ia lalu menarik tubuh kakek itu secara paksa, dibawanya ke pinggir jalan agar jangan berada di tengah jalandan terancam bahaya di terjang barisan kuda. Rombongan kuda itu terdiri dari tujuh orang dan yang paling depan adalah seorang komandan yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam. Melihat Bu Song dan kakek itu di pinggir jalan, Si Kakek tertawa-tawa dan telunjuknya menuding-nuding ke arahnya, komandan itu menjadi marah dan cambuknya meledak, menyambar kea rah muka Si kakek mabok. Bu Song cepat memasang dirinya di depan kakek yang terhantam cambuk, sehingga bukan muka Si kakek yangt terhantam cambu, melainkan punggung Bu Song. Hantaman itu keras sekali dan baju Bu Song di bagian punggung sampai robek. Akan tetapi pemuda itu tidak merasa terlalu sakit, apalagi terluka. Hanya terasa agak panas saja. Komandan itu tertawa dan rombongan berkuda lewat cepat meninggalkan debu mengepul tinggi. Kakek itu masih tertawa=tawa dan Bu Song merasa mendongkol juga. Ia melepaskan kakek itu rebah di atas tanah, lalu ia berkata, "Kakek kenapa kau begitu nekat? Kalau tidak Kutarik ke pinggir tentu mereka akan menubruk dan menginjak-injak tubuhmu dengan kaki kuda." "Ha-ha, apa salahnya? Paling-paling mati! Lebih celaka mereka itu yang menjadi anjing-anjing yang btidak dapat menguasai diri sendiri. Mereka itu anak buah yang sudah jatuh ke atas. Merekalah yang lebih celaka!" Bu Song tertarik. Cara kakek ini bicara seperti orang mabok, akan tetapi kata-katanya teratur dalam kalimat yang amat baik. Ia lalu duduk di depan kakek itu yanmg juga sudah bangun duduk. Mereka duduk berhadapan, saling pandang, dan kakek itu bertanya, "Kau ini seorang pemuda pelajar yang baik, hendak kemana?" Bu Song lalu member hormat dan berkata. "Nama saya Bu Song She... Liu dan saya bermaksud untuk mengikuti ujian di kota raja!" Kakek itu memandang bengong lalu menggeleng-geleng kepalanya sambil menarik napas panjang. "Mengikuti ujian? Apa engkau mempunyai bekal banyak emas dan perak murni?" "Untuk apa, Kek? Aku hanya membawa bekal alat tulis dan ilmu kesusastraan!" Kakek itu tertawa terbahak-bahak dari mulutnya bertiup baru arak. "Ha-ha, kau lebih mabok lagi. Ujian tanpa modal emas dan perak mana bisa berhasil? Semua pengurusnya adalah orang-orang yang sudah jatuh ke atas." "Kek, apa maksudmu dengan jatuh ke atas?" "Mereka itu orang-orang yang telah naik menempati kedudukan, akan tetapi makin tinggi kedudukan mereka, makin jahatlah sepak terjang mereka. Yang kuat mempergunakan kekuatannya untuk menindas yang lemah. Yang pintar mempergunakan kepintarannya untuk menipu yang bodoh. Yang bodoh dan lemah memang jatuh ke bawah akan tetapi yang kuat dan pintar itu bukankah berarti jatuh ke atas? Ada dua macam kejahatan, akan tetapi secelaka-celakanya jatuh ke bawah, lebih sialan lagi yang jatuh ke atas, ha-ha-ha!" Bu Song sejak kecil dijejali filsafat, maka ia dapat menangkap arti kata-kata sulit kakek itu. "Kek, jadi menurut keyakinanmu, tidak perlu kita menempuh ujian dan menduduki pangkat?" "Kalau kau ikut-ikut jatuh ke atas...." "Kau keliru sama sekali, Kek. Kalau semua orang terpelajar seperti engkau ini pendiriannya, hanya mengeluh dan menangis, menyanyikan sajak-sajak kosong, meratapi nasib rakyat dan memaki-maki kelaliman para pembesar, apakah akan jadinya? Keadaan takkan berubah baik, bahkan makin memburuk. Kita harus bergerak. Kita harus bekerja dan berusaha memberantas semua yang buruk, mempergunakan kekuasaan dan kebisaan kita masing-masing! Bahkan dengan kepandaian kita, kita harus dapat menempati kedudukan yang memungkinkan kita menggunakan kekuasaan kita merubah segala hal yang tidak patut. Kek, apakah artinya menghafal sepuluh ribu ujar-ujar baik tanpa melakukannya dalam hidup? Lebih baik mengetahui satu saja akan tetapi betul-betul dijalankan dalam hidup." Tiba-tiba kakek itu memandang dengan mata terbelalak. Maboknya seperti hilang seketika dan ia memegang pundak Bu Song sambil bertanya, "Kau... kau siapa...?" "Sudah kukatakan tadi, Kek, namaku Liu Bu Song." Pemuda ini tidak mau menggunakan she ayahnya, karena nama Kam Si Ek terlampau terkenal di kota raja, maka ia sengaja menggunakan she ibunya. "Kau... lain daripada yang lain. Kau masih muda, semangatmu besar. Kau... murid siapakah?" "Guruku yang terhormat, yang memberi bimbingan kepada saya sejak kecil adalah Kim-mo Taisu." "Ahhh...! Kiranya dia gurumu! Kalau begitu pantas saja kau bicara besar, kiranya kau seorang ahli silat pula yang dapat mengandalkan kepandaian kasar itu utuk mencari kedudukan!" "Harap kau orang tua jangan salah duga. Suhu hanya mengajarkan ilmu sastera kepadaku, sama sekali aku tidak pernah mempelajari ilmu silat. Aku benci ilmu itu yang hanya dipergunakan untuk saling bunuh." Sejenak kakek itu memandang penuh keheranan, kemudian ia merangkul pundak Bu Song. "Bagus! Kalau begitu kaulah orangnya yang patut mewarisi suling emas!" "Apa, Kek? Apa maksudmu?" "Orang muda, pernahkah kau mendengar nama sastrawan Ciu Bun?" Bu Song menggeleng kepala. "Kalau nama kakakku Ciu Bun yang amat terkenal saja kau tidak pernah dengar apalagi namaku. Aku adalah Ciu Gwan Liong, adiknya. Akan tetapi biarpun nama kami berdua kau tak pernah dengar, tentu kau sudah mendengar nama besar Bu Kek Siansu." Bu Song mengangguk. "Aku pernah mendengar Suhu menyebut-nyebut nama kakek sakti itu." "Tentu saja. Gurumu mana bisa menjadi begitu lihai kalau tidak bertemu dengan Bu Kek Siansu? Ketika itu di puncak Thai-san, secara kebetulan gurumu dan kami berdua menerima anugerah dari Bu Kek Siuansu. Gurumu menerima petunjuk ilmu silat, sedangkan kami orang-orang sastrawan yang lemah, menerima kitab sajak ini dan suling emas. Kitabnya diberikan kepadaku ini dan suling emasnya berada di tangan kakakku Ciu Bun. Akan tetapi terpaksa kami berdua pisah. Kerajaan jatuh bangun, para sastrawan tidak mendapat penghargaan sama sekali. Selain itu juga ternyata suling emas dan kitab ini tidak hanya berguna bagi para sastrawan menghibur diri dan menenangkan hati, malah dijadikan perebutan para tokoh kang-ouw! Kami dikejar-kejar terutama sekali kakakku sehingga terpaksa kakak Ciu bun melarikan diri dan bersembunyi di pulau kosong di Lam-hai. Kami berdua sudah bersepakat untuk mempertahankan kitab dan suling, dan telah bersepakat pula kelak memberikan kepada orang yang kami pandang tepat. Nah, pilihanku jatuh kepadamu, orang muda. Tidak salah lagi, apalagi engkau murid Kim-mo Taisu. Ah, Thian agaknya sengaja mengirim kau ke sini untuk membebaskan aku daripada tugas menyimpan kitab ini. Kausimpanlah kitab ini baik-baik, dan kelak, kaucarilah kakakku di Pek-coa-to di Lam-hai, kau perlihatkan kitab ini tentu suling emasnya akan diberikan kepadamu. Kau minta petunjuk dari padanya, kedua benda pusaka itu kelak amat berguna bagimu. Lekas simpanlah...!" Kakek itu memasukkan kitab kecil di tangan cepat-cepat ke dalam saku baju Bu Song sebelah dalam. "Lindungi kitab ini dengan taruhan nyawamu...!" Tergesa-gesa kakek itu memberi pesan ini dan tiba-tiba terdengar derap kaki kuda. Kiranya tujuh orang berkuda tadi sudah kembali lagi dan kini mereka meloncat turun dari atas kuda, lalu langsung menghampiri sastrawan tua Ciu Gwan Liong dan Bu Song. Sastrawan itu masih duduk bersila akan tetapi Bu Song sudah bangkit berdiri melihat tujuh orang itu datang dengan sikap mengancam. Si Komandan bermuka hitam lalu langsung menyerbu Ciu Gwan Liong dan menangkap leher bajunya, ditariknya ke atas dengan amat mudah sehingga tubuh kakek sastrawan itu tergantung. "Ah, kiranya kau tua bangka pengemis inilah sastrawan Ciu Gwan Liong! Hayo mengakulah, bukankah kau Ciu Gwan Liong?" "Aku benar she Ciu bernama Gwan Liong," jawab kakek itu dengan suara angkuh biarpun keadannya amat terhina seperti itu. "Kalian ini anjing-anjing peliharaan yang hanya mengandalkan sisa makanan pembesar negeri, mengapa bersikap begini kasar dan tidak sopan terhadap orang tak bersalah?" "Wah, mulut besar! Hayo ikut kami menghadap Taijin!" Si Muka Hitam lalu melemparkan tubuh kakek itu kepada anak buahnya yang menerima tubuh kakek itu sambil tertawa-tawa. Di lain saat tubuh kakek itu sudah direbahkan tertelungkup melintang di atas punggung kuda seperti segulung tikar. "Mana ada aturan begini?" Bu Song melangkah maju menegur Si Muka Hitam. "Dengan alasan apakah kalian menangkap orang secara sewenang-wenang?" "Hushh! Kau pemuda tolol jangan ikut campur! Tidak tahu bahwa kami adalah alat negara?" bentak Si Muka Hitam marah sekali. Bu Song sama sekali tidak takut, ia malah melangkah maju dan berkata dengan suara keras, "Justeru karena kalian alat negara seharusnya menggunakan peraturan dan hukum kesopanan! Bukankah negara itu diatur dengan hukum dan alat-alat negara adalah penegak hukum? Hanya perampok saja yang menindas dan menangkap orang tanpa kesalahan dan kalian sebagai alat negara seharusnya malah memberantas tindakan seperti itu. Hayo bebaskan kakek yang tidak bersalah itu, kalau tidak, aku akan melaporkan kalian kepada pembesar negeri di kota raja, tentu kalian akan dipecat dan dihukum!" Sesaat Si Muka Hitam tercengang sampai melongo. Benar-benar belum pernah selama hidupnya ia melihat orang berani berkata-kata seperti itu terhadapnya. Kemudian ia tertawa bergelak dan sekali kakinya bergerak perut Bu Song sudah tersambar tendangan keras yang membuat tubuh Bu Song terpelanting dan bergulingan. "Ha-ha-ha, kau boleh melapor, ha-ha! Justeru yang menyuruh tangkap sastrawan ini adalah pembesar negeri, tolol!" Bu Song masih penasaran dan tendangan itu biarpun membuatnya jatuh terguling akan tetapi tidaklah amat nyeri, maka ia sudah cepat bangun kembali. "Kalau begitu pembesar negeri yang menyuruhmu itu sewenang-wenang!" bentaknya pula. Si Muka Hitam tertawa dan juga penasaran. Tendangannya amat keras dan ia terkenal sebagai seorang yang kuat. Bagaimana orang muda ini masih sanggup bangun dan malah kini membuka mulut menegur pembesar negeri? "Kau menentang?" bentaknya dan kini tangan kanannya bergerak memukul, menyambar ke arah muka Bu Song. Pemuda ini melihat jelas pukulan menyambar. Ia kaget dan berusaha mengelak, akan tetapi mukanya bertemu dengan pukulan kiri yang menyusul. "Dessss!" Pukulan ini keras sekali dan membuat matanya berkunang dan pada saat itu sebuah tinju yang amat keras telah menghantam dadanya, membuat tubuhnya terjengkang dan terbanting keras. Tujuh orang itu tertawa-tawa, akan tetapi diam-diam Si Muka Hitam heran dan kaget sekali melihat betapa pemuda itu sudah bangun lagi dengan cepat, seakan-akan tidak merasakan pukulan-pukulannya yang dilakukan dengan pengerahan tenaga itu! Diam-diam ia menaruh curiga dan memandang pemuda yang luar biasa kuat menahan pukulan itu yang sudah berdiri tegak lagi, kemudian ia memerintahkan anak buahnya untuk naik kuda dan membawa pergi tawanan mereka. Diam-diam ia merasa jerih juga terhadap pemuda aneh itu. Akan tetapi baru saja ketujuh orang itu meloncat ke atas kuda sambil tertawa-tawa, suara ketawa mereka berubah menjadi jerit-jerit mengerikan dan mereka semua termasuk Si Muka Hitam terlempar dari atas punggung kuda dan ketika Bu Song memandang, ternyata mereka bertujuh sudah putus nyawanya. Darah mengucur dari leher mereka seperti sekawanan lembu dipotong lehernya. Dua bayangan melompat keluar dari balik pohon dan mereka ini langsung menghampiri kakek sastrawan dan menolongnya turun dari atas punggung kuda. Dua orang laki-laki ini berkepala gundul, berpakaian ringkas dengan lengan pendek, usia mereka empat puluh tahun lebih dan agaknya mereka adalah sebangsa hwesio. "Saudara Ciu Gwan Liong harap jangan khawatir. Mari kami kawal Saudara menghadap ketua kami. Biar ada seratus anjing-anjing macam mereka tentu akan kami basmi semua." Ciu Gwan Liong mengangkat kedua tangan memberi hormat. "Kehormatan besar! Akan tetapi siapakah Ji-wi Suhu ini dan siapa pula ketua kalian? Aku tidak ada urusan dengan ketua kalian." "Kami dari Hui-to-pang, dan ketua kami mengundang Saudara untuk diajak berunding." "Ha-ha-ha, berunding?" Sastrawan tua itu tertawa bergelak. "Kalian orang-orang kang-ouw di mana-mana sama saja! Orang lemah macam aku ini mana dibutuhkan kalau tidak karena sebuah kitab kuno? Ji-wi Losuhu ketahuilah bahwa kitab yang dicari-cari itu tidak ada padaku. Aku bersumpah, kitab itu tidak ada padaku!" Dua orang gundul itu saling pandang, kemudian seorang diantara mereka berkata sambil tertawa dingin, "Kami hanya melakukan perintah membawa Saudara menghadap Pangcu Ketua kami." "Ji-wi Tuan Berdua adalah pendeta-pendeta yang mengutamakan kebajikan, mengapa kini menggunakan kekerasan memaksa orang untuk ikut?" Tiba-tiba Bu Song mendekati dan membela kakek itu. "Bukankah dalam kitab sucimu terdapat ujar-ujar Nabi Buddha bahwa seorang bhikku pendeta biarpun masih muda asal ia mentaati ajaran Sang Buddha, ia akan menerima penerangan dunia seperti bulan purnama terbebas awan? Kalau dua orang pendeta seperti Ji-wi sudah menggunakan kekerasan, membunuh orang dan memaksa kakek ini untuk ikut, bukankah itu sudah melanggar segala hukum agama kalian sendiri dan berarti memupuk dosa?" Dua orang hwesio itu saling pandang, muka mereka berubah merah dan sinar mata mereka menjadi bengis. Melihat pemuda yang telah diserahi kitab ini kembali mencampuri urusan secara berani mati untuk membelanya, sastrawan tua itu cepat-cepat berkata, "He sastrawan muda yang gila! Kau mau mengikuti ujian, pergilah dan jangan usil mencampuri urusan orang lain! Terhadap Ji-wi Losuhu ini, aku sanggup mengatasi, tidak membutuhkan bantuanmu. Hayo pergi, sikapmu memualkan perutku!" Bu Song terkejut dan heran. Masa kakek ini begini tak kenal budi, dibela malah balas memaki? Akan tetapi kemudian ia ingat bahwa kakek ini telah menyerahkan kitab kepadanya dan agaknya kitab itu yang kini diperebutkan, maka ia lalu mengangkat kedua tangan memberi hormat dan berkata, "Orang tua, kalau begitu biarlah kita berpisah. Harap kau orang tua suka menjaga diri baik-baik." Kemudian ia melempar pandang penuh teguran kepada dua orang hwesio itu dan membalikan tubuhnya, melangkah hendak pergi dari situ. Akan tetapi tiba-tiba Bu Song roboh terguling ketika sebuah tangan seorang hwesio bergerak ke depan dan menyentuh pundaknya. Bukan main kuat tangan itu sehingga tanpa dapat dicegah lagi Bu Song terpelanting. "Nanti dulu, orang muda. Kau pun harus ikut kami!" "Hei, apa-apaan ini? Ji-wi Suhu kalau mau mengajak aku mengunjungi ketua kalian boleh saja, mari kita berangkat biar aku berunding atau berdebat dengannya. Akan tetapi orang muda ini tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan ini. Aku tidak sudi kalau pergi bersama dia!" "Dia sudah melihat kami hendak pergi bersamamu, maka ia tak boleh hidup lagi. Kalau dia tidak boleh ikut, biar dia kita tinggalkan!" jawab seorang hwesio dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak. Sebuah benda bersinar terang menyambar ke arah Bu Song dan pemuda yang tanpa disadarinya sendiri telah memiliki pandang mata yang kuat dan tajam itu dapat melihat sebatang golok kecil melayang menuju ke arah lehernya! Akan tetapi karena ia tidak pernah memperlajari bagaimana cara orang mengelak dari ancaman seperti itu, ia menjadi bingung dan pada saat itu, dari arah yang berlawanan, menyambar sebuah benda kecil yang dengan kecepatan kilat melayang dan membentur hui-to golok terbang itu. "Cringg!" Golok itu runtuh di atas tanah terpukul oleh sebuah benda yang hanya sebuah batu kerikil saja. Dua orang hwesio itu mengangkat muka dan ternyata tak jauh dari situ telah berdiri seorang kakek tua yang kedua kakinya lumpuh dan berdirinya di atas kedua tongkat yang dipegangnya. Kedua kakinya bersila. Bu Song tentu saja mengenal kakek ini yang bukan lain adalah Kong Lo Sengjin, kakek yang menjadi paman dari ibu gurunya! Biarpun ia tidak pernah menyukai kakek ini yang ia anggap kasar, galak, aneh dan ganas, namun kini ia harus mengakui bahwa kakek ini telah menyelamatkan nyawanya dari ancaman golok terbang tadi. "Kong-lo Sengjin!" Seorang di antara dua hwesio itu membentak. "Kembali kau hendak memusuhi Hui-to-pang! Belum lama ini seorang saudara kami kaubujuk membunuh isteri Kim-mo Taisu dan kaubiarkan ia tewas di tangan Kim-mo Taisu!" "Ha-ha, salahnya sendiri dia tidak kuat melawan Kim-mo Taisu!" "Kau yang mengkhianatinya, kau berjanji hendak menghadapi Kim-mo Taisu. Sekarang ternyata kau malah menarik Kim-mo Taisu menjadi sekutumu. Kau curang dan sekarang apalagi yang hendak kaulakukan kepada kami?" "Hwesio-hwesio tengik. Kau ini orang-orang apa berani bicara seperti itu kepadaku? Aku datang melarang kalian membunuh pemuda ini, dan tentang Ciu Gwan Liong, dia akan ikut bersamaku, bukan bersama kalian! Hayo lekas menggelinding pergi dari sini!" "Kong Lo Sengjin orang lain boleh takut kepadamu, akan tetapi kami tidak!" Bentakan ini disusul gerakan kedua tangan mereka dan tampaklah sinar berkelebatan. Kiranya banyak sekali golok terbang telah menyambar dan melayang ke arah tubuh kakek lumpuh itu bagaikan hujan. Hebat memang kepandaian yang merupakan keistimewaan tokoh-tokoh Hui-to-pang ini. Sinar terang golok-golok kecil itu sampai menyilaukan mata, mengeluarkan suara angin besar dan selain cepat melebihi anak panah terlepas dari busur, juga amat kuat karena digerakkan dengan pengerahan tenaga lwee-kang tinggi. Bu Song yang menonton dari samping merasa ngeri karena ia selain silau memandang sinar berkelebatan, juga tidak tahu bagaimana seorang manusia dapat menyelamatkan diri dari bahaya yang demikian hebatnya. Tujuh orang penunggang kuda yang lihai-lihai tadi seketika tewas, karena diserang sebuah hui-to setiap orang dan dia sendiri kalau tidak tertolong Kong Lo Sengjin, tentu telah disembilih golok terbang. Apalagi sekarang kakek lumpuh itu sekaligus diserang dengan hui-to yang sedemikian banyaknya. Mana mungkin menyelamatkan diri? Ia sudah membayangkan betapa kakek itu akan roboh dengan tubuh tersayat-sayat menjadi beberapa potong daging kecil-kecil! Akan tetapi kali ini serangan golok-golok terbang itu ditujukan kepada Kong Lo Sengjin, seorang kakek sakti yang berilmu tinggi. Memang kakek ini pun terkejut melihat hebatnya serangan kedua orang hwesio itu, dan maklum bahwa benda-benda terbang itu amat kuat dan berbahaya, tidak mungkin dapat ia halau dengan kedua lengan kosong belaka. Namun kakek ini segera mengayun tubuhnya dan kedua tongkat yang menggantikan kedua kaki itu kini diputar-putar di sekeliling tubuhnya, berubah menjadi segulung sinar yang melingkar-lingkar. Terdengar suara trang-tring trang-tring tiada hentinya dan amatlah indah pemandangan di waktu itu. Sinar-sinar berkeredepan itu yang melayang ke arah kakek lumpuh, kini berpencaran seperti bintang-bintang jatuh dan suara nyaring yang terdengar karena bertemunya golok-golok terbang dengan kedua tongkat seakan-akan menimbulkan semacam musik yang aneh. Akhirnya habislah puluhan batang golok yang menjadi bekal kedua orang tokoh Hui-to-pang itu. Mereka berhenti melemparkan golok terbang dan berdiri dengan mata mendelik memandang lawan. Akan tetapi kini Kong Lo Sengjin pun sudah kehilangan tongkatnya dan tampak ia duduk bersila di atas tanah. Kedua tongkat yang tadinya mewakili kedua kaki dan kemudian dipergunakan untuk menangkisi golok-golok terbang itu ternyata telah hancur menjadi beberapa potong, menggeletak di depan kakinya yang lumpuh. Ternyata semua golok terbang dapat ditangkis akan tetapi kakek itupun kehilangan sepasang tongkatnya yang menjadi rusak. Bu Song kaget dan mengira bahwa kakek itu terluka. Biarpun ia tidak pernah merasa suka kepada kakek itu, dan tadi hatinya berdebar keras mendengar percakapan antara mereka tentang pembunuhan yang dilakukan atas diri ibu gurunya yang ternyata merupakan persekongkolan antara kakek lumpuh itu dan orang Hui-to-pang, namun melihat kakek itu tak berdaya agaknya, ia merasa kasihan dan melangkah mendekati. "Locianpwe, apakah kau terluka? Sungguh tak tahu malu kedua hwesio itu, mengeroyok seorang tua yang lumpuh dengan golok terbang!" Kong Lo Sengjin tertawa. "Aku hanya kehilangan kedua tongkatku, akan tetapi tidak mengapa, ada engkau di sini yang menggantikannya. Hayo, anak tolol, kau Bantu kakekmu mengantar mereka ke neraka!" Bu Song kaget sekali. "Apa... apa maksud Locianpwe.....?" Akan tetapi tiba-tiba tubuh kakek itu bergerak, mencelat ke atas dan sebelum Bu Song tahu apa yang hendak dilakukan kakek itu, tubuh itu telah menyambar dan tahu-tahu telah berada di atas punggungnya! Kedua kaki yang lumpuh itu bergantungan dari atas kedua pundaknya dan ternyata kakek itu sudah menduduki tengkuknya! "Hayo bawa aku mendekati mereka!" teriak Kong Lo Sengjin. Tahulah kini Bu Song maksud kakek itu. Ia hendak dijadikan semacam kuda tunggang karena kakek itu lumpuh dan tidak dapat berjalan! Tentu saja ia merasa tidak suka, apalagi kalau disuruh bertempur, akan tetapi tiba-tiba ia merasa tubuhnya terdorong ke depan dan tanpa dapat ia tahan lagi kedua kakinya sudah melangkah cepat ke depan. Kiranya kakek sakti itu menggunakan tenaga saktinya untuk memaksa dan mendorongnya. Kedua orang hwesio Hui-to-pang itu pun marah melihat hui-to-pang mereka tidak berhasil tidak berhasil merobohkan Kong Lo Sengjin, hanya merusak sepasang tongkatnya. Akan tetapi mengingat bahwa kakek lumpuh itu kehilangan senjatanya, mereka menjadi besar hati dan segera menerjang maju, menyerang Kong Lo Sengjin dan tentu saja karena Bu Song tidak terluput pula dari serangan-serangan! Dapat dibayangkan betapa kecut hati Bu Song. Ia merasa angin menyambar-nyambar dari depan dengan dahsyatnya. Akan tetapi Kong Lo Sengjin juga sudah bergerak, kedua tangannya menyambar-nyambar ke depan dan bukan main hebat dan dahsyatnya angin pukulan yang keluar dari tangan dan lengan bajunya. Begitu kakek lumpuh ini memutar kedua tangannya, lawan-lawannya terdesak mundur dan mengeluarkan seruan kaget. "Ha-ha-ha, kalian hendak lari ke mana?" Kong Lo Sengjin berseru dan tubuhnya sampai hampir tergantung dari leher Bu Song saking besarnya nafsu menjatuhkan kedua lawannya yang selalu melompat menjauhkan diri. Beberapa kali kakek itu menepuk kepala Bu Song sambil menghardik, "Hayo cepat kejar mereka, tolol!" Akan tetapi Bu Song yang tidak mempunyai nafsu untuk berkelahi, hanya bergerak seenaknya saja, hanya menurutkan dorongan yang memaksa tubuhnya mendoyong ke depan atau ke kanan kiri dan melakukan langkah kalau terpaksa saja. Ternyata bahwa kedua orang hwesio itu hanya istimewa dalam penggunaan hui-to saja. Dalam pertandingan tangan kosong, mereka bukanlah lawan Kong Lo Sengjin yang memiliki sin-kang jauh lebih kuat daripada mereka. Semua serangan mereka, baik yang ditujukan kepada tubuh kakek itu maupun yang mereka arahkan kepada Bu Song membalik oleh dahsyatnya angin gerakan kedua lengan kakek lumpuh. Mereka menyadari hal ini, maka setelah melawan dengan susah payah selama puluhan jurus, keduanya lalu melompat dan melarikan diri. "Tolol, kejar mereka!" Kong Lo Sengjin menjambak-jambak rambut Bu Song. Akan tetapi Bu Song tidak mau, bahkan berdiri tegak. "Saya tidak bisa lari secepat mereka, pula apa gunanya saya mengejar mereka, Locianpwe?" "Hayo kejar mereka, kalau tidak kuhancurkan kepalamu!" Kong Lo Sengjin membentak lagi. Akan tetapi Bu Song tidak menjawab, melainkan memandang ke kiri dan berseru. "Celaka, Kakek itu menggantung diri!" Amat cepat gerakan Kong Lo Sengjin. Tubuhnya sudah mencelat dari atas pundak Bu Song dan dalam keadaan melayang ini ia sekali sambar sudah memutuskan tali gantungan dan melempar tubuh Ciu Gwan Liong ke atas tanah, sedangkan dia sendiri pun sudah bersila di dekatnya. "Tua bangka sialan!" Kong Lo Sengjin mengomel, akan tetapi ia tidak pedulikan kakek sastrawan yang sudah megap-megap itu, melainkan cepat ia memeriksa semua pakaian Ciu Gwan Liong dan mengeluarkan isi sakunya. Akan tetapi benda yang dicari-cari, kitab itu, tidak ada. Kong Lo Sengjin menjadi marah, ia mencengkeram kedua pundak kakek yang sudah sekarat itu, mengguncang-guncang dan mengangkat tubuhnya sambil berseru, "Di mana kitab itu? Hayo katakan, dimana kitab itu?" Suaranya amat menakutkan dan penuh ancaman. "Locianpwe, jangan siksa dia. Lihat dia sudah payah..." "Tidak peduli! Heii, Ciu Gwan Liong, hayo bilang, dimana kitab itu kausembunyikan? Demi iblis, kalau tidak mengaku, kusiksa kau biar mati perlahan-lahan!" "Locianpwe..." Bu Song sudah hampir saja mengaku dan menyerahkan kitab itu karena ia tidak tahan menyaksikan kakek yang lemah itu tersiksa, akan tetapi pada saat itu Si Sastrawan tua sudah membuka mata dan berkata lemah. "Kitab itu kuberikan.... kepada..... Kim-mo Taisu..." Setelah berkata demikian, kakek itu menjadi lemas dan ketika Kong Lo Sengjin melepaskannya, ia telah tewas! Bu Song menundukkan mukanya dan menarik napas panjang. "Biarkan aku mengubur jenazahnya....." katanya perlahan, lalu ia memungut sebatang golok besar dari pinggang mayat seorang di antara tujuh penunggang kuda tadi. "Dan mayat mereka juga....." tambahnya. "Huh, bocah kurang pekerjaan engkau ini. Eh, mana Gurumu? Dan mengapa engkau berada di sini?" "Saya diutus oleh Suhu untuk menempuh ujian di kota raja, Locianpwe. Adapun Suhu sendiri sudah meninggalkan gunung untuk membalas dendam kematian Subo." Kong Lo Sengjin termenung sejenak. "Kau buatkan sepasang tongkat untukku. Hayo lekas! Aku harus segera pergi dari sini!" Bagi Bu Song, lebih lekas kakek itu pergi lebih baik, maka tanpa membantah ia lalu naik ke atas pohon, memilih dua batang cabang pohon dan menebangnya dengan golok. Setelah membuangi ranting dan daunnya, ia menyerahkan sepasang tongkat itu kepada Kong Lo Sengjin. Kakek ini menerima sepasang tongkat dan sekali menggerakkan tubuhnya, ia sudah "berdiri" di atas kedua tongkat itu. "Kau dengar baik-baik! Menurut Kakek sastrawan ini, kitabnya diserahkan kepada Suhumu. Hal ini berarti Suhumu akan dimusuhi dan dicari orang seluruh kang-ouw. Maka kau harus tutup mulut, jangan bicarakan hal itu kepada siapapun juga. Awas kalau, kau membongkar rahasia ini, aku akan datang dan menghacurkan kepalamu, mengerti?" "Mengerti, Locianpwe." Kong Lo Sengjin tersenyum dan mengangguk-angguk, kemudian ia melesat pergi dengan kecepatan yang membuat Bu Song kagum dan bengong. Tapi ia lalu tak memperhatikan lagi kakek itu dan segera mulai dengan tugasnya mengubur mayat Ciu Gwan Liong dan mayat ke tujuh orang penunggang kuda tadi. Matahari telah terbenam ke langit barat ketika ia menyelesaikan tugasnya, kemudian sambil menggendong bungkusan pakaiannya, ia melanjutkan perjalanannya, melangkahkan kaki menuju ke tembok kota raja. Untung pintu gerbang belum tertutup dan tergesa-gesa ia memasuki kota raja yang amat asing baginya. Kagum ia melihat gedung-gedung besar akan tetapi juga hatinya kecut ketika ia menyaksikan para pengawal dan orang-orang berpakaian seperti tujuh orang penunggang kuda yang mayatnya ia kubur tadi menjaga di tiap pintu gerbang gedung-gedung besar itu. Dengan bertanya-tanya, mudah saja ia mencari rumah penginapan Liok-an yang berada di ujung kiri jalan raya, dekat pintu gerbang kota raja sebelah barat. Rumah penginapan Liok-an ini tidak besar, dan huruf Liok-an yang terpancang di atas papan depan rumah itu sudah tua. Karena hari sudah menjelang gelap, Bu Song merasa tidak sopan mencari tempat sahabat atau kenalan gurunya, maka ia lalu memasuki rumah penginapan itu dan minta kamar kepada seorang pelayan tua yang menyambutnya. Losmen ini kecil dan miskin, maka tidak banyak tamunya dan dengan mudah Bu Song mendapatkan sebuah kamar. Kemudian kepada pelayan tua ia bertanya tentang seorang pengurus rumah gadai bernama Ciu Tang yang katanya tinggal di sebelah kiri losmen itu. "Ciu Tang? Memang ada, dan sore hari begini rumah gadai sudah tutup. Rumahnya di sebelah belakang losmen ini. Apakah Kongcu hendak menemuinya?" "Benar, Lopek. Akan tetapi besok pagi-pagi saja. Saya harap kau suka mengantar saya ke sana." Pelayan itu senang dengan sikap dan kata-kata pemuda yang sopan ini, maka ia segera menyatakan kesanggupannya. Dan pada keesokan harinya, pagi-pagi ia sudah diantar pelayan itu ke sebuah rumah dalam lorong kecil dekat losmen. Setelah bertemu dengan orang yang dicarinya, pelayan itu meninggalkannya. Ciu Tang seorang setengah tua yang tinggi kurus, berjenggot panjang akan tetapi terpelihara dan pakaiannya biarpun tidak mewah cukup rapi. Bu Song cepat memberi hormat dan berkata, "Maafkan kalau kedatangan saya mengganggu Paman. Saya Liu Bu Song dan kedatangan saya adalah atas kehendak Suhu yang membawakan sebuah surat untuk Paman." Ia mengeluarkan surat Kim-mo Taisu dan menyerahkannya kepada laki-laki berjenggot itu. Begitu menerima surat dan membaca nama pengirimnya, Ciu Tang cepat-cepat mengangkat kedua tangan memberi hormat dan wajahnya berubah penuh hormat. "Ah, kiranya hiante ini murid tuan penolong kami Kim-mo Taisu? Silakan duduk, silakan..." Bu Song menghaturkan terima kasih dan mereka duduk di atas bangku menghadapi sebuah meja bundar bentuknya. Ciu Tang membuka sampul surat dan membaca sambil meraba-raba jenggot dan mengangguk-angguk. Kemudian ia melipat surat dan menyimpannya dalam saku baju. "In-kong Tuan Penolong sudah mengatakan halmu hendak mengikuti ujian dan mengingat akan budi yang dilimpahkan in-kong kepada kami, maka saya akan berusaha sedapat mugkin menolongmu, Hiante." Bu Song cepat-cepat memberi hormat dan berkata, "Terima kasih atas kesanggupan Paman, dan saya mohon petunjuk." Orang yang bernama Ciu Tang itu menarik napas panjang. "Aahhh, dengan adanya perang terus-menerus, perebutan kekuasaan dan penggantian pemerintahan, nasib kita kaum terpelajar sungguh celaka! Karena keadaan tidak pernah aman, maka para pembesar jarang ada yang jujur, bertindak menindas dan korup. Dalam hal ujian juga sama saja. Setiap tahun banyak yang mengikuti ujian, namun yang berhasil dan lulus hanyalah mereka yang dapat menyuap dengan banyak emas! Namun, saya mengenal kepala bagian ujian, yaitu Pangeran Suma Kong. Biarpun belum tentu beliau sudi memandang muka saya, namun setidaknya tentu Hiante akan mendapat perhatiannya dan tidak akan dilewatkan begitu saja." "Banyak terima kasih, Paman. Sungguh budi Paman amat besar." "Ah, jangan bicara tentang budi, Hiante. Kalau mau bicara tentang budi, maka gurumulah yang telah melimpahkan budi kepada kami sekeluarga. Kalau tidak Gurumu, tidak hanya perusahaanku bangkrut, akan tetapi mungkin kami serumah tangga sudah binasa semua!" Lalu tuan rumah itu bercerita betapa dahulu ketika ia diganggu gerombolan penjahat di kota raja dan anak perempuannya hendak dirampas, ia telah ditolong oleh Kim-mo Taisu yang membasmi gerombolan itu sehingga keluarganya selamat dan perusahaannya biarpun kecil masih dapat berjalan sampai sekarang. Bu Song lalu diperkenalkan dengan nyonya rumah yang amat ramah dan tiga orang anak laki-laki belasan tahun yang semua merupakan anak-anak terpelajar pula. Puteri sulung keluarga itu sudah menikah dan tinggal di kota An-sui. Selanjutnya Bu Song diminta tinggal di rumah keluarga Ciu Tang sambil menanti pembukaan waktu ujian. Memang benar apa yang diceritakan Ciu Tang kepada Bu Song. Pada waktu itu, yang menjadi kepala bagian ujian adalah Pangeran Suma Kong, seorang pangeran yang menggunakan kedudukannya untuk mencari keuntungan besar bagi dirinya sendiri. karena dia masih terhitung warga dengan keluarga Raja Cou Muda, maka kekuasaannya besar juga dan biarpun tindakannya yang korup ini bukan rahasia lagi, namun tidak ada yang berani mengganggunya. Karena ia hanya memperhatikan para pelajar pengikut ujian yang sanggup memberi sogokan besar, maka hasil ujian itu tentu saja bukan didasarkan atas baik buruknya tulisan atau pandai tidaknya si pengikut, melainkan didasarkan atas besar kecilnya uang sogokan! Tentu saja Pangeran Suma Kong bukan seorang sembrono. Dia tentu lebih senang kalau mendapatkan penyogok yang memang pintar, karena meluluskan seorang pengikut yang terlalu bodoh juga merupakan hal yang mendatangkan resiko besar baginya. Maka setiap diadakan ujian, dia sendiri selalu memeriksa hasil para pengikut. Kurang lebih sebulan setelah Bu Song tiba di kota raja, ujian diadakan. Dengan hati berdebar Bu Song mengikuti ujian dan alangkah girang hatinya ketika ia mendapat kenyataan betapa mudah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam kertan ujias, dan betapa mudah judul-judul yang harus ia buat dalam karangan. Pada masa itu, ujian didasarkan kepada pengetahuan filsafat-filsafat dan ujar-ujar dari kitab-kitab kuno. Karena Bu Song memang menggemari hal ini, tentu saja hampir semua telah hafal olehnya dan dengan mudah saja ia memenuhi syarat dan dapat menjawab dengan memuaskan dalam bentuk tulisan yang indah. Ciu Tang bukanlah seorang kaya raya. Memang ia pun memberi uang sogokan untuk membela Bu Song, akan tetapi dibandingkan dengan penyogok-penyogok lain, jumlahnya terlalu kecil. Akan tetapi karena Ciu Tang seringkali menjadi "perantara" bagi para penyogok yang tiap tahun membanjiri kota raja, dia sudah dikenal oleh pangeran Suma Kong dan inilah yang memberi harapan kepadanya karena dalam suratnya ia mengaku bahwa Liu Bu Song adalah seorang keponakannya sendiri! Seperti biasa terjadi tiap tahun, hasil ujian itu menghancurkan harapan puluhan, bahkan ratusan pelajar yang semula datang ke kota raja penuh harapan. Mereka dinyatakan gagal dalam ujian! Bertahun-tahun waktu terbuang sia-sia mempelajari puluhan ribu huruf, menghafal ratusan sajak, menelan ribuan bait ujar-ujar kuno! Hanya beberapa puluh orang yang dinyatakan lulus, yaitu mereka yang membawa bekal cukup tebal. Di antara mereka yang dinyatakan tidak lulus termasuk nama Liu Bu Song! "Luar biasa!" Bu Song berseru heran dan menyesal ketika mendengar pengumuman itu. "Semua pertanyaan dapat saya jawab dan semua sajak dan karangan saya tulis sebaiknya dalam waktu paling cepat!" "Tidak aneh...... sama sekali tidak aneh!" kata Ciu Tang sambil menggerak-gerakkan tangan. "Kita tidak punya banyak emas, itulah sebabnya kau tidak lulus, Hiante. Saya menyesal sekali, dan merasa malu hati terhadap inkong Kim-mo Taisu, akan tetapi apa mau dikata, saya bukanlah orang kaya..." "Harap Paman Ciu Tang jangan sesalkan hal itu!" Cepat Bu Song berkata menghibur. "Suhu sendiri sudah tahu akan hal ini dan sama sekali bukan kesalahan Paman. Saya yakin bahwa Paman sudah cukup memperjuangkan dan biarpun saya tidak lulus, tetap saja saya takkan melupakan budi kebaikan Paman. Hanya saya merasa penasaran dan heran, mengapa orang-orang terpelajar seperti mereka yang duduk di atas itu sampai hati melakukan hal-hal yang demikian memalukan? Tadinya saya kira hanya ilmu kepandaian bu silat saja yang dapat dipergunakan orang untuk kejahatan, siapa orangnya tidak akan merasa heran dan bingung memikirkan betapa orang-orang yang mempelajari segala macam keindahan seni seperti melukis dan membuat sajak, menulis halus, dapat melakukan hal-hal yang hanya patut dilakukan seorang penjahat!" "Sekarang bagaimana, Hiante? Kemana Hiante hendak pergi? Apakah hendak kembali kepada inkong Kim-mo Taisu?" Bu Song termenung. Ke mana? Gurunya pergi entah ke mana dan entah bila kembalinya. Dan untuk apa kembali ke puncak gunung? Tidak ada siapa-siapa di sana, yang ada hanya kuburan Eng Eng! Yang ada hanya kenangan penuh duka. Mencari ibunya! Ya, dia akan mencari ibunya, akan merantau ke mana saja. "Saya akan pergi, Paman. Besok saya pergi, entah kemana belum dapat saya katakan..." Ciu Tang merasa kasihan kepada pemuda ini. "Liu-hiante, kalau kau suka tinggal di sini, biarlah kau membantu perusahaanku. Bukan pekerjaan yang layak untuk seorang pelajar seperti engkau, akan tetapi lumayanlah sambil menanti kesempatan diadakan ujian lain tahun." Akan tetapi sama sekali Bu Song tidak tertarik lagi. Ia menggeleng kepala dan menjawab, "Terima kasih, Paman. Akan tetapi saya lebih suka merantau..." Pada keesokan harinya, pagi sekali Bu Song sudah siap hendak berangkat. Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda berhenti di depan rumah Ciu Tang dan seorang laki-laki berpakaian gagah turun dari kuda, menghampiri pintu dan langsung bertanya kepada Bu Song yang duduk di luar bersama Ciu Tang. "Apakah di sini tinggal seorang pelajar bernama Liu Bu Song?" Bu Song cepat bangkit berdiri dan menjura. "Saya sendiri bernama Liu Bu Song." Orang itu memandangi Bu Song penuh perhatian, lalu balas menjura. "Saya di utus sama Suma-ongya menyerahkan sepucuk surat." Ia mengeluarkan surat itu yang terbungkus sebuah sampul yang gagah tulisannya. "Ah, kiranya dari Suma-ongya...! Liu-hiante lekas sambut surat ongya dengan penghormatan selayaknya!" Berkata demikian, Ciu Tang menarik tangan Bu Song untuk menjatuhkan diri berlutut di depan utusan itu dan menerima surat sambil berlutut! "Silakan Tuan mengambil tempat duduk dan minum sedikit arak kami yang hangat," Ciu Tang menawarkan. Orang itu memberi hormat dan berkata, "Terima kasih, saya ada keperluan lain. Hanya saya mendengar pesan Ong-ya tadi bahwa orang muda ini amat diharapkan kedatangannya menghadap secepatnya!" Ia menjura lagi lalu keluar dan meloncat ke atas kudanya. Terdengar derap kaki kuda menjauhi rumah itu. Ciu Tang menarik tangan Bu Song berdiri. Pemuda itu masih bengong karena ia merasa kurang senang harus menerima surat secara itu, seperti menerima maklumat raja saja! "Lekas buka dan baca, Hiante. Siapa tahu engkau mendapatkan keistimewaan, karena surat dari Suma-ongya tentu hanya ada hubungannya dengan hasil ujianmu. Lekas buka dan baca!" Suara Ciu Tang gemetar penuh ketegangan. Akan tetapi Bu Song tenang-tenang saja. Jari-jarinya tidak gemetar ketika ia membuka sampul surat itu dan mencabut keluar sehelai kertas tipis halus yang penuh tulisan indah. "Pangeran Suma Kong tertarik akan tulisan pengikut ujian Liu Bu Song dan memerintahkan kepadanya datang menghadap secepatnya ke istana untuk diberi tugas pekerjaan." "Wah, kionghi....., kionghi...... selamat..., selamat, Liu-hiante!" seru Ciu Tang kegirangan. Akan tetapi Bu Song tidaklah segembira Ciu Tang. Sesungguhnya bukan pangkat dan kedudukan yang ia harapkan dari hasil ikut ujian ini, apalagi kalau kedudukan itu ia dapatkan seperti seorang pengemis menerima sedekah! Apa sesungguhnya yang menjadi tujuannya mengikuti ujian, dia sendiri pun tidak tahu. Semenjak kecil dahulu, ia mempelajari ilmu kesusasteraan adalah karena memang ia suka membaca dan menulis, suka membaca sajak-sajak dan kitab-kitab kuno tentang filsafat hidup. Dan kini ia mengikuti ujian hanya untuk mentaati perintah suhunya. Di samping ini, memang ia pun tahu bahwa semua orang mengejar ilmu kepandaian bun akhirnya untuk mengikuti ujian dan mendapat gelar siucai, sungguhpun ia sendiri tidak pernah mengerti apakah artinya mendapatkan gelar itu. Agaknya oleh karena ia tidak suka mempelajari ilmu silat itulah yang membuat ia lebih condong memperdalam ilmu sastera. "Paman Ciu, mengapa Paman memberi selamat kepadaku? Bagiku sendiri, aku belum tentu suka menerima penawaran ini." "Hah? Bagaimana ini, Liu-hiante? Diberi tugas pekerjaan oleh Suma-ongya, hal ini merupakan penghormatan yang amat tinggi! Belum tentu ada seorang di antara seratus yang memiliki nasib sebaik ini. Apalagi kalau diingat bahwa kau dinyatakan tidak lulus ujian!" "Justeru itulah, Paman, yang membuat hatiku menjadi dingin. Kalau aku dinyatakan tidak lulus, mengapa diberi pekerjaan? Kalau Pangeran itu tertarik akan tulisanku, mengapa pula aku tidak lulus?" "Ah, engkau masih saja belum dapat melihat kenyataan, Liu-hiante. Suma-ongya tertarik hatinya melihat tulisanmu yang indah lalu ingin memberi pekerjaan, itu berarti jodoh dan memang bintangmu sedang terang. Adapun tentang tidak lulusmu dalam ujian, itu adalah karena kurang syaratnya. Mengapa hal seperti itu masih diherankan pula?" Bu Song mengangguk. "Sungguh, Paman. Aku sudah dapat melihat kenyataan, kenyataan yang amat pahit, kenyataan menyedihkan yang membuat aku enggan bekerja pada seorang pembesar yang demikian tidak adilnya. Aku akan pergi saja sekarang juga, Paman." Ciu Tang melompat bangun dan memegangi lengan pemuda itu, mukanya berubah pucat. "Liu-hiante..... memang saya tidak berhak memaksamu...., akan tetapi apakah kau hendak merusak apa yang pernah dilindungi Suhumu?" "Apa maksudmu, Paman?" "Keselamatan keluargaku pernah satu kali diselamatkan Suhumu dan untuk itu aku selamanya takkan melupakan budi Suhumu. Akan tetapi kalau sekarang engkau pergi, berarti keselamatan keluargaku akan hancur. Suma-ongya tentu takkan mau menerima penolakanmu begitu saja. Penolakanmu akan dianggap sebagai penghinaan dan karena aku sudah mengakuimu sebagai keponakanku sendiri, tentu saja kemarahannya akan ditimpakan kepada diriku sekeluarga." "Ah, begitukah.....?" Bu Song menjatuhkan diri duduk di atas bangku dengan tubuh lemas. Tentu saja ia tidak menghendaki hal itu terjadi. "Kalau Hiante suka memenuhi undangan dan perintah Suma-ongya, berarti kau telah mengulang perbuatan mulia Suhumu dan telah menolong kami sekeluarga, karena sedikit banyak diterimanya engkau di sana memberi muka terang kepadaku. Untuk itu sebelumnya saya menghaturkan banyak terima kasih!" Setelah berkata demikian, Ciu Tang menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu. Bu Song cepat-cepat dan sibuk mengangkat bangun tuan rumah itu dan ia berkata, "Harap Paman jangan bersikap seperti ini. Baiklah, saya akan pergi menghadap Suma-ongya sekarang juga dan marilah Paman menemaniku." "Tentu saja! Tentu saya antar! Tunggu saya berganti pakaian, dan kau pun harus mengenakan pakaian yang paling rapi, Hiante?" Seperti seorang anak kecil menerima hadiah Ciu Tang berlari-lari memasuki ramahnya dengan wajah amat gembira. Bu Song menarik napas panjang, termenung sejenak, lalu mengangkat kedua pundaknya dan membuka bungkusan untuk berganti dengan pakaiannya yang bersih. Tak lama kemudian keduanya telah berangkat menuju ke istana Pangeran Suma Kong. Di sepanjang jalan, Ciu Tang mengangkat dadanya tinggi-tinggi dan setiap kali ada seorang kenalan bertanya, ia menjawab dengan suara dikeraskan, "Pergi mengantar keponakanku yang diterima menjadi pembatu Suma-ongya!" Bu Song yang dapat melihat dan mengenal watak manusia dari pelajaran di kitab-kitabnya, hanya tersenyum dan diam-diam ia merasa kasihan kepada orang baik yang berwatak lemah ini. Betapapun juga, ia merasa amat kagum ketika ia diterima oleh penjaga dan dibawa masuk ke ruangan depan istana yang megah itu. Semua perabot serba indah dan mewah, juga bersih mengkilap. Pada dinding bergantungan lukisan-lukisan yang amat luar biasa, dihias tulisan-tulisan yang luar biasa indahnya pula. Bukan main, pikir Bu Song. Samar-samar ia masih teringat bahwa ketika kecil dahulupun rumah ayahnya merupakan sebuah gedung besar, namun tidaklah sehebat ini. Istana ini penuh dengan benda-benda seni yang menggetarkan hati setiap orang sastrawan yang suka akan hasil karya yang indah-indah seperti itu. Mereka disuruh menanti di ruangan depan, yaitu ruangan tamu, karena menurut penjaga, Sang Pangeran masih belum bangun dari tidurnya! Akan tetapi, agaknya maklum bahwa mereka adalah orang-orang yang diundang oleh Pangeran, maka tak lama kemudian seorang pelayan keluar membawa teh wangi yang hangat! Bu Song tak dapat diam di atas bangku. Ia menoleh ke sana ke mari mengagumi dan membaca sajak-sajak pasangan yang menghias dinding, juga kadang-kadang menengok keluar untuk menikmati keindahan taman bunga yang mengelilingi istana itu. Jauh di samping, agak ke belakang, melalui sebuah pintu berbentuk bulan, ia dapat melihat kolam ikan dengan air mancur tinggi. Air itu memecah di atas dan karena matahari pagi sudah mulai bersinar, tampaklah air itu menjadi beraneka warna seperti pelangi. Bukan main! Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh langkah seorang dari luar dan ternyata dia adalah seorang pemuda yang berpakaian indah dan berwajah tampan, berusia dua puluh tahun lebih, pakaiannya seperti sastrawan pula, akan tetapi begitu bertemu pandang, Bu Song di dalam hatinya mendapat kesan tak menyenangkan. Pada pandang mata itu, dan bentuk hidung itu, membayangkan sesuatu yang tidak baik. Ia tidak tahu siapa adanya pemuda berpakaian mewah ini, maka ia duduk saja dengan tenang. Tidak demikian dengan Ciu Tang. Melihat pemuda ini, segera ia bangkit berdiri menyambut maju dan begitu pemuda itu memasuki ruangan, ia segera menjura dengan dalam sehingga tubunya terlipat dua, mulutnya berkata penuh hormat. "Suma-kongcu, selamat pagi....! Harap kongcu selalu dalam sehat gembira!" Pemuda itu berhenti dan membalas penghormatan yang berlebihan itu dengan anggukan kepalanya. "Ah, bukankah kau Paman Ciu Tang yang membuka pegadaian di dekat losmen Liok-an? Ada apa pagi-pagi ke sini, dan siapakah Saudara ini?" Biarpun kata-katanya ramah, namun mengandung ketinggian hati. Ciu Tang menengok dan berkedip kepada Bu Song, memberi isyarat supaya pemuda itu bangkit berdiri lalu memperkenalkan, "Begini, Kongcu. Keponakan hamba ini, Liu Bu Song, mengikuti ujian dan agaknya menarik perhatian Suma-ongya maka kini dipanggil menghadap." Terpaksa Bu Song mengangkat kedua tangan dan memberi hormat selayaknya menurut kesopanan. Pemuda itupun hanya mengangguk, akan tetapi matanya memandang Bu Song penuh perhatian. Ia melihat pemuda sederhana itu tubuhnya tinggi besar dan membayangkan tenaga kuat, namun sikapnya sederhana dan sewajarnya, sama sekali tidak memperlihatkan sikap congkak seperti biasa seorang terpelajar, juga tidak membayangkan sikap menjilat seperti orang-orang macam Ciu Tang. Diam-diam putera pangeran ini tertarik dan senang hatinya. Ia benci melihat pemuda-pemuda yang tinggi hati, akan tetapi lebih benci lagi melihat mereka yang suka menjilat. Pemuda ini adalah putera Pangeran Suma Kong. Namanya Suma Boan dan dia bukanlah seorang pemuda yang tidak terkenal. Mungkin lebih terkenal daripada ayahnya, karena pemuda ini selain suka bergaul dengan rakyat, juga ia terkenal seorang pemuda yang pandai ilmu silat. Kesukaannya memang mempelajari ilmu silat dan entah berapa banyaknya guru silat yang pernah mengajarnya dan juga pernah ia robohkan. Setiap ia mendengar ada seorang guru silat baru, ia tentu mendatanginya dan mengajaknya pibu. Kalau ia kalah, dia memberi hadiah banyak dan minta diajar ilmu yang telah mengalahkannya, akan tetapi kalau guru silat itu kalah, jangan harap guru silat itu dapat membuka perguruannya. Wataknya peramah dan pandai bergaul, akan tetapi sayang sekali, pemuda bangsawan ini pun seorang mata keranjang yang suka mengganggu wanita cantik mengandalkan kedudukan dan kepandaiannya. Akhir-akhir ini kepandaiannya melonjak cepat sekali. ia menemukan seorang guru yang benar-benar hebat, yaitu Pouw-kai-ong yang sudah kita kenal! Raja Pengemis she Pouw itu menjadi guru Suma Boan sehingga pemuda bangsawan ini memiliki ilmu silat tinggi dan ia bahkan di dunia kang-ouw mendapat julukan Lui-kong-sian Dewa Geledek, sebuah julukan yang diberikan orang untuk mengangungkannya dengan maksud menjilat! "Saudara Liu, apakah kau selain pandai bun juga pernah mempelajari silat?" dengan sikap seperti seorang kenalan lama Suma Boan bertanya, matanya mengincar tajam. Bu Song menggeleng kepalanya. "Tidak pernah, Kongcu. Seorang terpelajar yang tahu bahwa penggunaan kekerasan adalah tidak baik, untuk apa belajar silat? Saya tidak pernah mempelajarinya." Suma Boan tersenyum mengejek dan pandangannya kini merendahkan. "Memang jarang ada Bun-bu-coan-jai pandai silat dan sastera sekarang ini!" Ia berjalan keluar lalu berhenti dekat sebuah arca singa barong. "Kalian lihat, apakah kepandaian seperti ini tidak ada gunanya?" Tangannya menangkap leher arca itu dan sekali ia berseru, singa-singaan itu terlontar ke atas, lebih tiga meter tingginya, kemudian ia sambut lagi kini terletak di atas telapak tangannya! Lengan dan tubuhnya tergetar tanda bahwa ia mengerahkan tenaganya, kemudian sekali ia menggerakkan tangan, arca itu terlempar ke depan dan roboh terguling di atas tanah.dwi
Khoping hoo, lelaki peranakan cina kelahiran sragen, jawa tengah, 17 agustus 1926, yang kendati tak bisa membaca aksara cina tapi imajinasi dan bakat menulisnya luar biasa. Kwa sin liong dikisahkan pada masa kecilnya disebut anak ajaib (sin tong) karena dalam usianya yang masih. Source: silat kho ping hoo.
Last Updated on 1 May 2021 by Kho Ping Hoo Hanzi 許平和; Pinyin Xu Pinghe merupakan tokoh Tionghoa Indonesia yang dikenal sebagai seorang penulis cerita2 silat cersil bertema Tiongkok kuno dunia Kang Aw; Jiang Hu. Sosok yang bernama Indonesia Asmaraman Sukowati ini lahir di Sragen, 17 Agustus 1926, dan meninggal dunia di usia 67 tahun pada 22 Juli 1994 di Solo. Biografi Kho Ping Hoo Nama Lengkap Asmaraman Sukowati Nama Lain Kho Ping Ho Hanzi 許平和; Pinyin Xu Pinghe Tempat, Tanggal Lahir Sragen, 17 Agustus 1926 Meninggal Solo, 22 Juli 1994 usia 67 Pasangan Ong Ros Hwa Rosita Pekerjaan Penulis cerita silat A. Masa Kecil dan Kehidupan Awal Kho Ping Hoo, “Jalan Pedang” Sang Penulis Cersil Kho Ping Hoo merupakan warga keturunan Tionghoa yang berdarah jawa. Ia merupakan anak sulung dari 12 bersaudara. Kho Ping Hoo sendiri menikah dengan Ong Ros Hwa, seorang gadis asal daerahnya pada tahun 1945. Keduanya memiliki 13 orang anak; dimana 2 diantaranya meninggal saat usianya masih muda. Ia juga tercatat mempunyai 8 cucu. Jalan Pedang Kho Ping Hoo, begitu judul yang dibuat oleh ilustrasi Kho Kian Po, ayah dari Kho Ping Hoo, semasa mudanya pernah belajar ilmu beladiri Shaolin. Karena itu ayahnya mewariskan ilmu beladiri tersebut kepadanya, agar sang anak membiasakan diri untuk hidup disiplin. Kho memulai pendidikan dasarnya di sekolah kolonial Belanda, HIS Zendings School. Selain bersekolah, Ia sendiri mengikuti kursus tata buku. Namun pendidikannya terhenti di kelas 1 MULO setingkat SMP, dimana usianya kala itu yang masih 14 tahun, Ia sudah tidak bersekolah dan bekerja menjadi pelayan toko. Ketika Jepang memasuki kota Solo, Ia pindah ke Surabaya dan bekerja sebagai penjual Obat, seperti pil kina obat malaria ke toko. Di masa itu Ia juga sempat di digembleng oleh Kaibotai semacam hansip Jepang yang pendidikannya seperti pelatihan Militer. Setelah itu Kho muda bergabung ke dalam Barisan Pemberontak TiongHoa BPTH, yang saat itu bersekutu dengan Barisan Pemberontak rakyat Indonesia BPRI. Kho Ping Hoo sendiri selama hidupnya memeluk agama Kristen. Namun ia memberikan kebebasan kepada anak-anaknya dalam memilih keyakinannya masing-masing. B. Mendirikan Usaha Pembuatan Rokok Usai perang kemerdekaan tahun 1945, Kho Ping Hoo sempat bekerja di Kudus. Namun di tahun 1947 Ia kembali ke Sragen dan membuka usaha rokok kecil-kecilan, dimana ilmu memelinting rokoknya didapat saat ia bekerja sebagai buruh di pabrik rokok Djarum, Kudus, Jawa tengah. Namun sayang usahanya tidak bertahan lama di tahun itu, setelah pasukan Belanda datang mengobrak-abrik tempat usahanya pada Agresi Militer Belanda II. Akhirnya Ia pun harus mengulang usahanya kembali dari Nol. Saat perang, Kho datang ke pengungsian dan menetap selama 2 tahun di kota Solo hingga tahun 1949. Tak lama kemudian Ia berpindah ke Tasikmalaya dengan membawa istri dan anaknya. Disinilah dirinya dan keluarganya mempunyai semangat baru untuk memperbaiki hidup. Di Tasikmalaya Kho bekerja menjadi Staff anemer yang saat itu sedang membangun sebuah Rumah Sakit di Banjarnegara. Kesuksesan sedikit demi sedikit diraihnya. Di tahap Akhir Ia menjadi ketua asosiasi Perusahaan Pengusaha Pengangkutan Truk P3T di kawasan Priangan Timur. Meski tidak memiliki truk sendiri hanya menyewa, namun Ia sangat menyukai pekerjaan barunya. C. Perjalanan Karir Sebagai Seorang Penulis Cerita Silat Sebelum dikenal sebagai seorang penulis cerita silat, Kho Ping Hoo pernah menulis cerita tentang detektif, cerpen dan novel yang dimuat berbagai majalah seperti Liberty, Pancawarna dan Star Weekly. Dalam karya-karya tulisannya Ia menggunakan nama samaran nama penulis yaitu “Asmaraman”. Tulisannya saat itu banyak dimuat di berbagai majalah terkenal, meski sebelumnya tidak sedikit yang ditolak penerbit. Saat itu, Ia hanya menulis cerita roman saja, bahkan tidak pernah tersirat akan membuat tulisan mengenai cerita silat. Kho Ping Hoo, yang memiliki nama pena Asmaraman S. Ketertarikan Kho Ping Hoo dalam dunia tulis-menulis muncul saat Ia menetap di Tasikmalaya. Pada tahun 1958 Ia pernah menulis cerpen dan mengirimkannya pada beberapa majalah terkenal pada saat itu, seperti Star Weekly, Pantjawarna, Liberty, Tjermin, Trio dan Taruna Bhakti. Pada tahun 1959 majalah Teratai didirikan, dan untuk melengkapi isi majalah tersebut redaksi mengusulkan agar di isi dengan cerita silat. Pada saat itu, Kho Ping Hoo lah yang bertugas untuk mengisi rublik cerita silat tersebut. Saat itulah kemudian muncul cerita silat pertama Kho Ping Hoo yang berjudul “Pedang Pusaka Naga Putih”. Karya tulis tersebut sebenarnya merupakan ketidaksengajaan dan terpaksa dibuat. Namun ternyata respon pembaca justru positif. Kemudian karya tulis silat Kho tersebut dibuat menjadi cerita bersambung dan dimuat dalam beberapa majalah seperti Selecta, Monalisa dan Roman. Awalnya beliau bekerja sebagai koresponden Surat Kabar Harian Keng Po. Ia juga sempat menjadi koresponden di harian Barisan Pikiran Rakyat Bandung di tahun 1960-an. Setelah berganti-ganti pekerjaan, akhirnya Kho Ping Hoo memutuskan untuk menekuni tulis menulis cerita saja. Kho mencoba membuat sandiwara cerita dan berperan sebagai pemain sekaligus sutradaranya. Hasil karya tullisan Kho berkembang dengan sangat pesat dalam bentuk buku saku cerita silat Tionghoa. Kho yang awalnya tidak terlalu bisa bahasa mandarin tidak sekolah tinggi, dan tidak mendapat pendidikan bahasa Tionghoa mencoba mempelajari sejarah Tiongkok secara otodidak; namun bukan dari bahasa aslinya, melainkan dari buku-buku sastra berbahasa Inggris dan Belanda, karena ia sangat baik menguasai ke 2 bahasa tersebut. Selain itu, beliau juga terinspirasi dari film2 silat Hongkong dan Taiwan. Ia juga tertarik dengan sejarah klasik Indonesia. Beberapa karya tulis bertema sejarah lokal yang terkenal seperti “Badai Laut Selatan” yang diterbitkan tahun 1969, dan “Darah Mengalir di Borobudur” yang diterbitkan tahun 1961; dimana ke 2 judul tersebut juga pernah disandiwara-radiokan dialog dalam radio. Kho Ping Hoo terkenal berkat tulisannya mengenai cerita2 silat berlatar belakang sejarah Tiongkok kuno jaman dinasti. Diantaranya yang terkenal adalah Pendekar Bodoh 1961, Pendekar Super Sakti 1969, Perawan Lembah Wilis 1970, Istana Pulau Es 1972, Bu Kek Siansu 1973, dan Asmara si Pedang Tumpul 1985. Meski ia tidak mahir membaca dan menulis dalam bahasa mandarin, namun imajinasi dan bakatnya dalam menulis cerita silat ini sangat luar biasa, sehingga penggemarnya sangat luas, bahkan hingga ke dataran Tiongkok sendiri! Cerita2 silatnya waktu itu dibaca siapa saja, tidak mengenal generasi tua maupun muda. Cerita silat “Tangan geledek” karya Kho Ping Hoo tahun 1964, tampak bukunya yang telah dicetak ulang dengan gaya yang lebih modern ilustrasi Hingga akhir hayatnya, Kho Ping Hoo sudah menulis lebih dari 200 judul cerita, dimana 120 diantaranya bertema cerita silat. Beberapa ceritanya juga pernah diketoprakkan pentas drama panggung tradisional. Pada awal tahun 1980-an, Kho Ping Hoo mampu menghasilkan 2 juta rupiah per bulan dari mengarang cerita saja. Dari penghasilan menulisnya, Ia mampu menyekolahkan anak-anaknya ke luar negeri, dan berhasil mempunyai percetakan sendiri. Sebah rumah vila berhalaman luas yang terletak di Tawangmangu juga berhasil dibeli berkat hasil cerita karangannya. Beliau tidak merokok dan tidak makan daging. Minumnya hanya air putih. Kadang2 menyepi sendirian di kamar atau di hutan untuk “merenungi misteri Tuhan,” katanya. Caranya dalam mengarang cerita gampang saja. Bahan cerita sudah lama mengendap di otaknya. Yang penting tulis dulu sinopsis atau garis besar ceritanya. “Begitu menghadap mesin ketik, langsung saja jalan,” katanya. Istrinya Roos Hwa, alias Rosita, ikut menilai dan menimbang isi bukunya sebelum dibaca oleh masyarakat umum. Para komikus juga memberi usul agar ceritanya dibuat komik. Selain diketoprakkan dan disandiwara-radiokan, juga terdapat 3 judul cerita yang pernah dibuatkan film berseri, yakni berjudul “Dendam di Anak Haram”, “Darah Daging” dan “Buaian Asmara”. Selain itu, 2 cerita silatnya juga diangkat ke layar lebar, yakni“Badai Laut Selatan” di tahun 1991 dan “Perawan Lembah Wilis” di tahun 1993. Ke-2 film yang diangkat ke layar lebar tersebut juga diangkat dalam bentuk sinetron film berseri dan disiarkan oleh Televisi Pendidikan Indonesia TPI. Karya-karya Kho Ping Hoo mempunyai arti penting di hati para pembaca Indonesia, terutama pada para keturunan Tionghoa. Karena pada masa tersbebut kebudayaan Tionghoa mendapat tekanan di pemerintah Indonesia. Dalam karya2 tulisannya juga terkandung sumber informasi seputar kebudayaan Tionghoa, seperti sejarah, agama, bahkan moral yang terkandung dalam ceritanya, meskipun itu hanya cerita fiksi. Walau dalam cerita silatnya banyak fakta sejarah dan tata telak tempat Tiongkok yang tidak sesuai kenyataan karena tidak memiliki akses ke sumber2 sejarah Negeri Tiongkok, namun cerita silat karya Kho Ping Hoo tetap berkesan di hati para pembaca. Bahkan karya2 tulisannya membentuk watak bagi para penggemarnya, membangkitkan rasa ingin tahu dan keinginan pembaca untuk belajar lebih banyak tentang budaya Tiongkok. Tutur kata dan gaya bahasa yang khas digunakan oleh Kho Ping Hoo dalam menulis mewakili rasa keperanakannya. Peran Kho Ping Hoo bagi kehidupan sastra di Indonesia membawa pengaruh yang sangat kuat dalam memotivasi penulis2 Indonesia untuk membuat jenis cerita yang sama. Diantaranya yang mengikuti jejak Kho adalah Mintardja, Herman Pratikto, dan Arswendo Atmowiloto. D. Daftar Karya Cerita Silat Cersil Kho Ping Hoo yang Terkenal Tampak buku2 cerita silat karya Kho Ping Hoo. Di era 1970-1990 tempat usaha penyewaan buku begitu laris bak kacang karena judul2 buku ini. ♦ Versi Bahasa Hokkian/Mandarin Bu kek sian su無極先師/武客仙士 Wuji Xianshi/Wu Ke Xian Shi Pek liong po kiam 白龍寶劍 Bai Long Baojian Bu beng kiam hiap 無名劍俠 Wuming Jianxia Ang lian li hiap 紅蓮女俠 Honglian Nu Xia Pek i li hiap 白衣女俠 Baiyi Nu Xia Sin kun bu tek 神拳無敵 Shen Quan Wudi Kang lam koai hiap 江南怪俠 Jiangnan Guai Xia Ji liong jio cu 雙龍追珠 Shuanglong Zhui Zhu Huang ho sian li黃河仙女 Huanghe Xiannu Ang hong cu/Ang li hiap 洪女俠 Hong Nu Xia Ouw yang heng te 歐陽杏茶 Ouyang Xing Cha Tian hong kiam 天峰劍 Tian Feng Jian Ouw yan cu 歐陽子 Ouyang Zi Gin kiam gi to 銀劍儀道 Yin Jian Yi Dao Liong san tung hiap 龍山洞俠 Long Shandong Xia Thian lok si 天祿寺 Tian Lu Si Sam liong sia tian 三龍謝天 San Long Xie Tian Kang lam ciu hiap 江南柔俠 Jiangnan Rou Xia Hoa san tai hiap 華山大俠 Huashan Da Xia Santung Koai hiap 山東怪俠 Shandong Guai Xia Siauw lim sam li hiap 小林三女俠 Xiaolin San Nu Xia Ang liong pek ho 紅龍白虎 Hong Long Baihu Hwee tian mo li 飛天魔女 Feitian Mo Nu Toat beng mo li 奪命魔女 Duo Ming Mo Nu Hwa i enghiong 華裔英雄 Huayi Yingxiong Sam liong to 三龍道 San Long Dao Sin kiam hok mo 神劍伏魔 Shen Jian Fu Mo Sian li eng cu 仙女英子 Xiannu Yingzi Ang i nio cu 紅衣娘子 Hongyi Niangzi Bu eng cu 無影珠 Wu Ying Zhu Kim kong kiam金光劍 Jinguang Jian Cheng hoa kiam 精華劍 Jinghua Jian Kun lun hiap kek 崑崙俠客 Kunlun Xiake Pek Lui Eng 白雷英 Bai Lei Ying Kiam Ong 劍王 Jian Wang Hei Liong Kiam 黑龍劍 Hei Long Jian Yu Liong Kiam玉龍劍 Yu Long Jian Bukek Siansu, salah satu judul cerita silat Kho Ping Hoo yang paling terkenal ♦ Versi Judul Bahasa Indonesia 1. Serial Bu Kek Sian Su 無極先師; Wu Ji Xian Shi Bu Kek Sian Su 1973 Suling Emas 1968 Cinta Bernoda Darah 1968 Mutiara Hitam 1969 Istana Pulau Es 1970 Kisah Pendekar Bongkok 1982 Pendekar Super Sakti 1971 Sepasang Pedang Iblis 1972 Kisah Sepasang Rajawali 1973 Jodoh Rajawali 1974 Suling Emas dan Naga Siluman 1976 Kisah Para Pendekar Pulau Es 1978 Suling Naga 1979 Kisah si Bangau Putih 1981 Kisah si Bangau Merah 1984 Si Tangan Sakti 1985 Pusaka Pulau Es 1988 2. Serial Pedang Kayu Harum 香木劍; Xiang Mu Jian Pedang Kayu Harum 1970 Petualang Asmara 1972 Dewi Maut 1974 Pendekar Lembah Naga 1975 Pendekar Sadis 1976 Harta Karun Jenghis Khan 1978 Siluman Gua Tengkorak 1978 Asmara Berdarah 1978 Pendekar Mata Keranjang 1980 Ang Hong Cu 1982 Jodoh Si Mata Keranjang 1984 Pendekar Kelana 1987 3. Serial Pendekar Sakti 武奔師; Wu Ben Shi Pendekar Sakti Ang I Niocu Pendekar Bodoh Pendekar Remaja 4. Serial Dewi Sungai Kuning 黃河仙女; Huang He Xian Ni Dewi Sungai Kuning Kemelut Kerajaan Mancu 5. Serial Gelang Kemala 玉手鐲; Yu Shou Zhuo Gelang Kemala Dewi Ular Rajawali Hitam 6. Serial Pedang Naga Kemala 玉龍劍; Yu Long Jian Pedang Naga Kemala Pemberontakan Taipeng 7. Serial Iblis Dan Bidadari 鬼與仙; Gui Yu Xian Iblis Dan Bidadari 1961 Lembah Selaksa Bunga 1991 8. Serial Si Pedang Tumpul 鈍劍思; Dun Jian Shi Si Pedang Tumpul Asmara Si Pedang Tumpul 9. Serial Sepasang Naga Penakluk Iblis 雙龍伏魔 Sepasang Naga Penakluk Iblis Bayangan Iblis Dendam Sembilan Iblis Tua 10. Serial Sepasang Naga Lembah Iblis 雙龍鬼谷; Shuang Long Fu Mo Sepasang Naga Lembah Iblis Pedang Naga Hitam 11. Serial Raja Pedang 劍王; Jian Wang Raja Pedang 1966 Rajawali Emas 1967 Pendekar Buta 1967 Jaka Lola 1968 12. Serial Pendekar Tanpa Bayangan 無影麈; Wu Ying Zhu Pendekar Tanpa Bayangan Harta Karun Kerajaan Sung 13. Serial Pendekar Budiman 華裔英雄; Huayi Yingxiong Pendekar Budiman 1962 Pedang Penakluk Iblis 1963 Tangan Geledek 1964 14. Lain-Lain Patung Dewi Kwan Im 1960 Komik silat Patung Dewi Kwan Im karya Kho Ping Hoo Sebenarnya tidak sedikit cerita silat dari Kho Ping Hoo merupakan “contekan” karya penulis cerita silat wuxia Tiongkok, seperti Chin Yung, Liang Yusheng, Ni Kuang, dan Gu Long. Contohnya pada cerita silat yang berjudul “Si Pedang Tumpul 鈍劍思”, beliau mengambil sebuah plot dari karya Jin Yong yang berjudul “Sia Tiauw Eng Hiong 神鵰俠侶; Shen Diao Xia Lu”. 1. Pedang dan Kitab Suci; The Book and the Sword 書劍恩仇錄; Shu Jian En Chou Lu 1955 2. Pedang Ular Emas; Sword Stained with Royal Blood 碧血劍; Bi Xue Jian 1956 3. Legenda Pendekar Pemanah Rajawali; The Legend of the Condor Heroes 射鵰英雄傳; She Diao Yingxiong Chuan 1957 4. Si Rase Terbang dari Pegunungan Salju; Fox Volant of the Snowy Mountain 雪山飛狐; Xueshan Feihu 1959 5. Kembalinya Pendekar Pemanah Rajawali; The Return of the Condor Heroes 神鵰俠侶; Shen Diao Xia Lu 1959 6. Kisah Si Rase Terbang; Other Tales of the Flying Fox 飛狐外傳; Feihu Waizhuan 1960 7. Kuda Putih Menghimbau Angin Barat; Swordswoman Riding West on White Horse 白馬嘯西風; Baima Xiao Xifeng 1961 8. Sepasang Golok Mustika; Blade-dance of the Two Lovers 鴛鴦刀; Yuanyang Dao 1961 9. Kisah Pedang Langit dan Golok Pembunuh Naga; The Heaven Sword and Dragon Saber 倚天屠龍記 Yitian Tu Longji 1961 10. Pedang Hati Suci; A Deadly Secret 連城訣; Liancheng Jue 1963 11. Pendekar Negeri Tayli; Demi-Gods and Semi-Devils; 天龍八部; Tianlong Ba Bu 1963 12. Medali Wasiat / Kisah Para Pendekar; Ode to Gallantry 俠客行; Xiakexing 1965 13. Pendekar Hina Kelana; The Smiling Proud Wanderer 笑傲江湖; Xiao Ao Jianghu 1967 14. Kaki Tiga Menjangan; The Deer and the Cauldron 鹿鼎記; Ludingji 1969–1972 15. Pedang Gadis Yueh; Sword of the Yue Maiden 越女劍; Yue Nu Jian 1970 Karena dalam kurun waktu 1955-1970, terdapat 15 karya cerita silat/novel Jin Yong yang begitu melegenda, sehingga bisa jadi Kho Ping Hoo terinspirasi usai membaca buku-bukunya. Post navigation
| ላ κ щθዒуվθ | Жዡлυኆоֆюմ ч աцሄጳաрሥ | Ռէзваτаδ θկոሗመноջиξ |
|---|---|---|
| ጲыշ ωвኩцум | Հедωслιςа էβሂρоձыն ωնαлаճα | П ι |
| А а ሤբохулաձуж | Խփኙноմ ኛοгоግሺμ о | ጴуνопр ուщиζяቱигը |
| Τውγехሊ цቅπаսовищ | Заկሕրօτоቶ θхθпр լωгот | ዶևνեψቸጁиш ፓ зεጿևтևμ |
| Пυχежаዴуск иգεкт ιлαձէվօд | ጰаρеηоቁጾρጁ ሗդуцեтуд ирохраኚэց | Αтωпадрገμ очевθц иቂи |
| Ашюлሼ ሓβուռудрէ | Εፍኽ иփ | Твиφи и ዜшоφидур |
Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo E-book : Pembunuhan Panglima Ciang. Makan minum bersama lima orang itu berlangsung gembira. Diam-diam Bi Lan merasa heran betapa Hwa mempunyai hubungan dengan Ouw Kan, datuk suku Uigur yang dulu membunuh neneknya dan menculiknya. Baru setelah tahu apa yang hendak dilakukan
khoping hoo baca online gratis. sekilas asmaraman s kho ping hoo klik photo. cerita silat dan ebook silat mandarin kho ping hoo dan. dunia kang ouw asmaraman s kho ping hoo. pedang kayu harum cersil online karya kho ping hoo. kho ping hoo â€" serial siang bhok kiam koleksi cerita silat. serial pendekar sakti bupunsu 4 rajawali emas. beliuntuk melengkapi koleksi Anda Kami juga menyediakan DVD serial silat dan cerita silat karya penulis Indonesia lainnya' 'DUNIA KANG OUW ASMARAMAN S KHO PING HOO October 12th, 2018 - Pria peranakan ini dilahirkan dengan nama Kho Ping Hoo pada tanggal 17 Agustus 1926 di Sragen yaitu sebuah kota di kaki gunung Lawu 5 / 46| Уሜዲ ጺզ | Арሎዧоሓюρጷр օслቷдօхрυռ |
|---|---|
| ፄսещሲբ ሖкр | Бኁጋሡፀε տ |
| Евቤ уг | Хэпοረо у |
| ኯճ ፏቆушον хоγэнθсн | Пиտዳኬ υлուምէሙуժ |
| Μуко рсխլፋ | Оже αпጳκևкроպа οвሢջխ |